Monday, April 7, 2014

Dunia Baru Untuk Adi (Bagian 1)

Matahari bersinar di ufuk timur. Memberi pertanda bagi Ara bahwa hari telah dimulai. Matanya masih memejam. Mengelak untuk menyapa hangatnya sinar mentari pagi. Begitu pula kulitnya. Bagai melakat erat pada selimut seakan tidak mau terlapas dari kehangatan..
“Mama, boleh minta antar ke sekolah?”
“Boleh, tapi tunggu sampai mobilnya selesai dibersihkan.” Ara mengedarkan pandangan mencari Adi yang sedang membersihkan mobil.
“Mau berapa lama lagi ia kerja di sini? Dulu sekolah tidak mau, bekerja yang lebih layak juga tidak mau. Aneh, apa bahagia hidup jadi pembantu terus?”
“Sudah, itu memang janji Adi. Bekerja membantu keluarga kita.”
“Tapi bukannya kalau ia dulu sekolah atau bekerja hal yang lain itu akan memperbaiki hidupnya?”
“Berapa kali mama bilang ke kamu kalau Adi itu beda. Bukan soal uang. Ataupun bukan juga karena baik dan buruk. Hanya niat.”
“Lucu aja, ayah dulu niatnya menolong dia. Bukan maksud ayah menolong dia lalu ayah meminta dia menolong keluarga kita.”
“Adi hanya takut kehilangan keluarga kita. Ia berpikir, jika kita tidak ada, maka ia akan tetap berada di pinggiran jalan.”
“Aku tak habis pikir kenapa Adi begitu takutnya.”
“Anggap saja dia kakakmu.”
“Sudah pasti ma. Tapi Ara gak pingin dia begitu terus. Harus ada perubahan. Dia harus lebih baik.”
“Mungkin rencana kepergianmu ini akan membantu dia lebih baik.”
“Semoga saja, andai mereka setuju.”
Di luar dugaan, yang hendak melagalisir ijazah SMA tidak hanya Ara. Ara harus mengantri lumayan panjang di kantor Tata Usaha sekolah SMA Ara setahun lalu. Saat Ara duduk di samping taman, Rama dan Yani menyapanya dari kejauhan.
“Araaa…..”, teriak Yani berlari menuju Ara hingga Ara mendapat pelukan yang erat dari Yani dan Rama.
“Mau legalisir juga? Atau mau temu kangen sama guru?” tanya Ara.
“Legalisir lah. Kamu sendiri mau apa? Kurang puas dulu ngejailin Tatibsi?” sindir Rama.
“Sama. Cuma sekarang juga mau pisah kangen sama orang Tatibsi. Mau minta maaf.”
“Wih, lembut banget. Mau kemana emang? Mau pergi lama?” tanya Yani.
“Iya, kuliah S1 di Amerika Serikat kurang lebih 5 tahun sekalian magang.”
“Gila keren!”
Mereka bertiga berbicara kesana kemari. Membicarakan seberapa bodoh dan nekatnya mereka bertiga menjalani masa SMA. Hanya ketulusan persahabatan yang mereka saling tinggalkan. Hingga saatnya mereka mengejar mimpi masing-masing. Berpisah untuk bertemu kembali membawa impian mereka.
Selepas dari sekolah, Ara pergi ke sebuah kantor organisasi nirlaba dimana Ara mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di Amerika Serikat.
“Bang Agus, ini legalisir raport SMA. Kemarin mbak Yani bilang legalisir tambahannya diberikan ke abang.”
“Ok Ara terima kasih. Oya Ara, abang dengar kamu kemarin minta ke devisi pengiriman untuk diijinkan membawa kerabat ke Amerika Serikat ya?”
“Iya abang, rencananya kakak laki saya mau nemenin saya di sana. Bukannya manja, hanya untuk pendamping saja. Untuk urusan uang pesawat, visa, paspor, dan lain-lain nanti kakak saya bayar sendiri kok bang.” Jelas Ara.
“Sebenarnya bisa, bahkan sangat diijinkan. Namun, ini ada yang aneh dengan berkas yang kamu kirim. Di sini menyebutkan kamu hanya memiliki kakak perempuan. Bukan kakak laki-laki.”
Sepanjang siang Ara menceritakan siapa itu Adi kepada Abang Agus. Mulai dari saat ayahnya membawa Adi yang saat itu berumur 5 tahun ke rumah. Adi yang sebatang kara itu tak tahu tentang kehidupan. Ia hanya tahu keluarga Ara telah menyelamatkan hidupnya.
Ara yang lebih muda satu tahun dari Adi saat itu sangatlah senang mempunyai kakak laki-laki. Namun Adi tidak seperti anak-anak yang lainnya. Trauma kekerasan yang ia dapatkan di jalanan membuat ia menjadi pendiam. Hanya dengan keluarga Ara ia berani berbicara. Seberapa pun kerasnya keluarga Ara menyembuhkan traumanya, semakin bungkam Adi kepada dunia luar.
“Ma, dimana? Adi sudah siap?” telepon Ara kepada mamanya.
“Ini lagi beli makanan bentar. Sudah siap. Bagiamana? Diijinkan?”
“Alhamdulillah ma, diijinkan. Ini surat ijinnya sudah Ara bawa. Semua sudah beres.”
“Alhamdulillah, Berarti, kapan urus paspor, visa, dan tiket pesawat untuk Adi?”
“Untuk paspor dan visa, nanti Ara sama Adi bisa urus sendiri bareng. Kalau pesawat, biar sama pihak pemberi beasiswa saja yang mengurus. Kita hanya mengganti tiket pesawat untuk Adi.”
“Semoga ini yang terbaik untuk kalian berdua.”
“Iya ma, ini sebagai tanda terimakasihku kepada Adi. Saatnya dia tahu betapa indahnya dunia luar.”

No comments:

Post a Comment